Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai jaksa sudah seharusnya mengambil sikap lebih tegas terkait upaya banding atas vonis majelis hakim kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO) atau kasus minyak goreng.
"Jaksa seharusnya tidak berpikir atau meminta petunjuk atasan, karena sudah jelas hukuman yang jauh dari tuntutan tujuh tahun yang hanya diputus satu tahun," kata Fickar kepada Alinea.id, Kamis (5/1).
Fickar menilai, para jaksa perlu mewaspadai potensi pelanggaran integritas di balik putusan yang dijatuhkan majelis hakim kepada para terdakwa.
"Saya kira harus menjadi perhatian juga para jaksa, walaupun tidak mustahil juga terjadi pengaruh uang dalam putusan tersebut. Karena itu, masyarakat harus selalu siaga untuk mengawasi jalannya peradilan," ujarnya.
Para terdakwa dalam kasus ini, yakni penasihat kebijakan/analis Independent Research & Advisory Indonesia (IRAI) dan Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei; Komisaris PT Wilmar Nabati Indonesia Master Palulian Tumanggor, Senior Manager Corporate Affair PT Victorindo Alam Lestari, Stanley MA; General Manager (GM) Bagian General Affair PT Musim Mas, Pierre Togar Sitanggang; dan mantan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardhana.
Indrasari divonis tiga tahun penjara dan denda sebesar Rp100 juta subsider dua bulan kurungan. Kemudian, Master Parulian divonis 1,5 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider dua bulan kurungan.
Sementara itu, majelis hakim menjatuhkan vonis kepada Lin Che Wei, Stanley MA, dan Pierre Togar Sitanggang masing-masing satu tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider dua bulan kurungan.
Kelima terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama. Mereka diyakini terbukti melakukan korupsi ekspor minyak goreng yang merugikan keuangan negara.
Dalam perkara ini, majelis hakim meyakini para terdakwa terbukti bersalah berdasarkan dakwaan subsider dari jaksa penuntut umum, yakni Pasal 3 juncto Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No.20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.